Senin, Maret 03, 2008

Melihat Desa Produksi Ciu Sebagai Objek Wisata?

http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=154314&actmenu=38

Harian KR 2 Maret 2008

29/02/2008 08:56:45 GERAKAN tangan seorang Md (60) begitu cekatan. Kakek warga Desa Wlahar Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas masih terlihat sigap saat ia menuangkan cairan berisi campuran gula kelapa, tape singkong, dan 'laru' ke dalam panci yang dibakar di atas perapian. Setelah panci berukuran sekitar 15 liter terisi sepertiganya, ia segera menutupnya rapat dengan tutup yang telah dihubungkan dengan pipa bambu, lantas disalurkan melewati air dingin. Dan diujung pipa itu telah ditempatkan gelas kaca besar berukuran 2 - 3 liter untuk menampung air hasil sulingannya. Sepintas memang seperti orang memasak gula, atau menyuling minyak atsiri. Namun jika dicermati lebih lanjut, Md sedang membuat ciu, sejenis minuman tradisional Banyumas yang mengandung alkohol dan bisa memabukkan. Kegiatan membuat ciu ini memang sudah menjadi sumber penghidupannya sepuluh tahun terakhir. Ide membuat minuman itu bukan berarti muncul tiba-tiba, namun usaha bikin ciu sudah jadi andalan ratusan warga Desa Wlahar dan Windunegara, keduanya di Kecamatan Wangon yang sudah berlaku secara turun temurun. Bahkan, kakek Md sudah berprofesi sebagai pembuat ciu pada zaman penjajahan Belanda. "Kakek saya semasa hidup di zaman penjajah sudah bikin ciu. Namun, pemerintah Belanda melarang karena ciu juga mengandung khasiat sebagai obat, dan mereka tidak ingin teknologi itu dikuasai Bangsa Indonesia, hingga akhirnya warga sembunyi-sembunyi saat bikin minuman itu. Sekarang jumlah pasti perajin ciu tidak jelas, yang pasti ratusan," ceritanya kepada KR, Minggu (24/2) ditemui di dapur rumah tempat ia membuat ciu. *** MENYEBUT nama ciu, bayangan akan mabuk pastilah tercipta. Lantas untuk apa menggagas wisata alkohol di Banyumas? Wajar jika pertanyaan itu terungkap. Karena ide yang 'sangat aneh' ini tiba-tiba muncul, ketika pemerintah justru sedang 'perang' dengan minuman beralkohol. Tetapi pemerhati dan pelaku bisnis wisata, Edi Wahono SH mengatakan, sebagai warisan budaya turun temurun, potensi warga dalam membuat ciu bisa dimanfaatkan sebagai paket pariwisata. "Kita jangan melihat sisi hitam dan putih, namun realitasnya seperti itu, jika mereka dihentikan begitu saja lantas mau makan apa. Dengan potensi seperti itu, mungkin layak dijadikan objek wisata," ujarnya. Senada dengan itu Kepala Seksi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum (URHU) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Deskart Sotyo Djatmiko SH MSi mengutarakan, ide membuat objek wisata alkohol dengan memanfaatkan produk ciu tradisional sudah ada dalam pemikiran lembaganya. Saat ini, Disparbud bersiap mengadakan studi kelayakan terhadap wisata itu. Ditambahkan, dengan menjadi objek wisata akan membuat harga ciu lebih mahal dari normalnya. Sebab, kedepan ia merencanakan labelling pengemasan ciu dalam botol seperti minuman impor. "Dengan dikemas dan dilabel harganya akan mahal, itu jelas mengurangi tingkat konsumsi ciu. Hanya orang mampu atau dalam hal ini dibatasi wisatawan saja yang boleh minum," tuturnya. Menurutnya, wujud wisata alhokol ialah sebuah kawasan berikat, di mana konsumsi dan distribusi ciu akan dibatasi hanya pada dua desa yang menghasilkannya. Jika beredar diluar lokasi itu tanpa izin akan kena sanksi hukum. *** DESA Wlahar memang bukan desa kaya. Tak heran jika sebagai sebuah kegiatan turun temurun, membuat ciu adalah sebuah kewajaran. Apalagi potensi sumber penghasilan lain yang dinilai lebih layak dan halal jarang di desa. Warga setempat kebanyakan berprofesi sebagai penderes, buruh, maupun sebagai kuli bongkar muat pasir dan batu di Kali Tajum yang mengalir di pinggiran desa, atau beberapa orang yang 'beruntung' mampu bekerja di luar negeri. Lantas bagaimana seperti Md 'menyambut' rencana wisata alkohol tersebut? Jelas, warga seperti kakek Md hal itu tidaklah mengetahui rencana itu. Yang dia tahu, ia hanya membuat dengan resep turun temurun. Sekali proses pembuatan, Md membutuhkan bahan-bahan di antaranya gula merah, laru atau sisa proses pemasakan ciu, air serta tape singkong. Untuk setiap 'resep' berisi campuran bahan pembuat minuman itu, mampu menghasilkan antara 35 - 40 liter ciu setelah dimasak satu hari. Minuman itu memiliki kandungan alkohol 40 - 60 persen. Pelanggan Md berbagai daerah sekitar Banyumas, Cilacap, dan Wonosobo datang sendiri ke rumahnya untuk membeli Ciu. Sehari Md bisa mendapatkan penghasilan kotor sekitar Rp 400 ribu. Meski dibilang menggiurkan, Md mengakui bisnis yang dijalaninya menyalahi aturan. Bahkan, Md pernah beberapa kali dicekal petugas kepolisian karena akitivitasnya. "Dulu pernah dicekal, namun setelah bebas kembali lagi, sebab saya bingung harus mengerjakan apa. Sedangkan kondisi fisik sudah tua, di daerah lain juga banyak pabrik penghasil minuman berskala besar, kenapa masih bebas berdiri?" tandasnya. Md mengharap, pemerintah bisa melegalkan usaha yang dilakoninya dan ratusan warga Wlahar dan Windunegara. "Kami ingin berbisnis secara legal dan berizin. Sehingga tidak perlu kucing-kucingan seperti saat ini," imbuhnya. (Jarot/Fsy)-c

Tidak ada komentar: